SELAMAT MILAD KE-50 MAJLIS ULAMA INDONESIA Oleh: A.M.Romly

Panggilan para kiai

Pada suatu hari pertengahan tahun 2011, ketika telah menjadi dosen pada FU-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, KH Aminuddin Ibrahim, pimpinan Pondok Pesantren Darul Iman Pandeglanag dan saLah satu Ketua MUI Provinsi Banten menghubungi lewat saluran tetepon. Beliau atas nama para kiai di Banten meminta agar saya bersedia menjadi Ketua Umum MUI Provinsi Banten. Pada waktu itu, Ketua Umum MUI Provinsi Banten adalah Prof. Dr. KH Wahab Afif MA, akan segera menyelesaikan masa khidmat keduanya. Saya sendiri pada waktu itu menjabat Ketua Dewan Pertimbangan MUI Provinsi Banten. Saya kaget, merasa tidak layak menjadi Ketua Umum MUI Provinsi Banten menggantikan Prof. Wahab.

Saya berpikir panjang dan mendalam. Saya sadar bukan kiai atau ulama, karena ilmu agama saya hanya sedikit, paling banter bisa disebut santri, karena pernah belajar di pondok pesantren tradisional. Untuk menjadi kiai atau ulama, kata KH Ma’ruf Amin (Mantan Ketua Umum MUI Pusat dan mantan Wakil Presiden RI di periode kedua Presiden RI Ketujuh, Ir. H. Joko Widodo), orang harus belajar ilmu agama secara sungguh-sungguh paling sedikit 20 (dua puluh) tahun. Sedangkan aku belajar ilmu agama di pondok pesantren paling banter kurang lebih 10 (sepuluh ) tahun; itu juga tidak melulu belajar ilmu agama, dan belajarnyapun kurang sungguh-sungguh.

Kemudian saya menyadari suasana dan alasannya, para kiai meminta kesediaan bukan karena saya ulama, tetapi dari golongan zuama dan cendekiawan muslim. Saya sadar pula Allah telah memperjalankan hambanya; meskipun saya berkeinginan lain, kalau berhadapan dengan rencana Allah maka saya harus mengikutinya. Saya harus mengikuti jalan yang disediakan Allah, karena pasti ada hikmah dan barakahnya. Akhirnya permintaan kesediaan dari para kiai untuk menjadi Ketua Umum MUI Provinsi Banten saya sanggupi, dengan catatan Prof. Dr. KH Wahab Afif MA berkenan. Oleh karena itu, sebelum pelaksanaan Musyawarah Daerah (MUSDA) III saya menghadap beliau di kediamannya, diantar oleh Prof. Dr. H.E. Syibli Sarjaya LML, MM. Saya memandang beliau sebagai orang tua saya, dan sejak aku menjabat Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama, kami menjalin hubungan sangat baik. Mungkin saja karena hubungan kami yang sangat baik, aku dipercaya sebagai Ketua Dewan Penasihat MUI Provinsi Banten.

Tetapi saya menyadari tidak banyak tahu tentang MUI itu sendiri. Ingatan saya menerawang waktu mengawali belajar di FU-IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beberapa orang dari mahasiswa, antara lain yang saya kenal karena ia sahabat sejak tinggal di Bogor, yaitu Dien Ucu Syuhabuddin Asnawi, menjadi anggota Panitia Musyawarah Nasional (Munas) Ulama. Ketika itu saya tidak mengetahui apa itu MUI? Sebab pada waktu itu belum ada organisasi seperti itu.

Musyawarah Alim Ulama Indonesia

Majlis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada tanggal 17 Rajab 1395 H bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M di Jakarta sebagai Hasil Musyawarah NasionaI Ulama yang berlagsung pada tanggal 12 s/d 18 Rajab 1395 H/21s/d 27 Juli 1975 M di Balai Sidang (Senayan) Jakarta. Musyawarah ini diselenggarakan oleh sebuah Panitia yang diangkat oleh Menteri Agama. Ketua Panitia adalah Letjen Purn H. Sudirman. Tim Penasihat terdiri dari Prof. Dr.Hamka, KH Abdullah Syafe’i dan KH M. Syukri Ghozali.

Piagam berdirInya MUI ditandatangani oleh 26 Ketua MUI Provinsi seluruh Indonesia, yaitu: Rahmatullah Shiddiq (DKI Jakarta), A.K. Basuni (Jawa Barat), Prof. T.H. Ismail Yakub SH, MA (Jawa Tengah), H. BPH Prabuningrat (DI Yogyakarta), H.M. Maskoen (Jawa Timur), H. Ali Hasjmy (DI Aceh), H. Ismail Sulaiman (Sumatera Utara), H. Mansoer Dawoud Datuk Palimo Kayo (Sumatera Barat), Drs. Said Abrurachman (Riau), M.O. Bafadhal (Jambi), Drs. KH. Yusuf Aziz (Bengkulu), KH Masyhur Azhari (Sumatera Selatan), Drs. H. Soewarno Achmady (Lampung). Drs. H. Moh. Ardani (Kalimantan Barat), H.M. Imron Yusuf (Kalimantan Tengah), Muchtarum SH (Kalimantan Selatan). KH M. Saberani T.Y. (Kalimantan Timur), KH Yoesoef Ontowiryo (Suawesi Utara), K.A. Muthalib Thohir (Sulawesi Tengah), KH Baedhowie (Sulawesi Tenggara), H.M. Ali Mabham D.T. (Sulawesi Selatan), H.M.K.Soulisa (Maluku), Abdul Mu’in Yasin (Irian Jaya), H. Machrus Usman (Bali). H. Nuruddin (NTT), dan H.O.S. Badjideh (NTB).

Di samping itu, 10 orang dari organisasi Islam Tingkat Pusat juga membubuhkan tandatangannya, yaitu: KH Moh. Dahlan (NU), Ir. H.Basit Wahid (Muhammadiyah), H. Syafi’i Wirakusumah (Syarikat Islam), H. Nurhasan Ibnu Hajar (Perti), Anas Tanjung (Al-Washliyah), KH. Saleh Su’aidi (Mathlaul Anwar), KH Qudratullah (GUPPI), H. Sukarsono (PTDI), KH Hasyim Adnan (DMI), H. Zainal Arifin Abbas (al- Ittihadiyah). Juga ikut menandatangani dari unsur Dinas Rohani Angkatan, yaitu: H.A.Soleiman (AD), Drs. D.K. Djamhani (AU), Drs. Nawawi Rambe (AL) dan Drs. H. Abdullah Usman (Polri). Ada lagi 13 orang yang hadir ikut membubuhkan tandatangan sebagai pribadi, yaitu: Prof. Dr. Hamka, KH Thohir Rohili, KH Syafari, KH Abdullah Syafe’i, KH Rusli Khalil, KH Abdul Aziz, Muchtar Luthfi el-Anshary, KH Abdullah Udjong Rimba, Prof. Mr. Kasman Singodimedjo, KH Moch. Dahlan, KH Hasan Basri, KH Kudratullah, dan A.K. Basuni.Pertemuan para Alim Ulama yang melahirlan MUI tersebut, selanjutnya ditetapkan sebagai Musyawarah Nasional (Minas) I MUI. Denga demikan, sebelum adanya MUI Pusat, terlebih dahulu terbentuk 26 MUI Provinsi.

Alasan dan Tujuan

Adapun alasan didirikannya MUI ada lima. (1) Di berbagai negara, terutama di Asia Tenggara, waktu itu telah terbentuk Dewan Ulama atau Majlis Ulama atau Mufti selaku penasihat tertinggi di bidang keagamaan yang memiliki peran strategis. (2) Sebagai lembaga atau “alamat” yang mewakili umat Islam Indonesia kalau ada pertemuan-pertemuan ulama internasional, atau bila ada tamu dari luar negeri yang ingin bertukar fikiran dengan ulama Indonesia. (3) Untuk membantu pemerintah dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan keagamaan dalam melaksanakan pembangunan, sebagai jembatan penghubung serta penerjemah komunikasi antara umara dan umat Islam. (4) Sebagai wadah pertemuan dan silaturahim para ulama seluruh Indonesia untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah. (5) Sebagai wadah musyawarah bagi para ulama, zuama dan cendiawan muslim Indonesia untuk membicarakan permasalahan umat.

Sedangkan tujuan didirikannya MUI ada dua. (1) Terwujudnya masyarakat yang berkualitas (khairu ummah) dan negara yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridhai oleh Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). (2) Untuk mencapai tujuan tersebut MUI melakukan  usaha-usaha  seperti  memberikan  tuntunan  dan  bimbingan,merumuskan kebijakan dakwah, memberikan nasihat dan fatwa, merumuskan pola hubungan keumatan, meningkatkan hubungan dan kerjasama antar ormas/lembaga Islam, dan sebagainya.

Visi dan Misi

Visi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik, memeroleh ridha dan ampunan Allah SWT (baldatun thayyibatun warabbun ghafur) menuju masyarakat berkualitas (khairu ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin (‘izzul Islam wal muslimin) dalam wadah NKRI sebagai manifestasi dari rahmat seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).

Sedangkan misi MUI ada tiga. (1) Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara efektif dengan menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah hasanah), sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan memupuk ‘aqidah Islamiyah, serta menjalankan syari’ah Islamiyah. (2) Melaksanakan dakwah Islam, amar ma’ruf nahyi munkar dalam mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyarakat berkualitas (khairu ummah) dalam berbagai aspek kehidupan. (3) Mengembangkan ukhuwah Islamiyah dan kebersamaan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah NKRI.

Harapan para tokoh

Presiden RI kedua, Jenderal Suharto, mengemukaan bahwa Alim Ulama adalah pemimpin-pemimpin yang berada di tengah masyarakat dan yang benar- benar memahami aspirasi dan jiwa rakyat. Karena itu beliau mengharapkan agar para Alim Ulama dapat meratakan tujuan masyarakat yang ingin kita bentuk bersama. Selain dari itu, amar ma’tuf nahi munkar adalah tujuan yang sangat mulia dan tugas itu dipikulkan kepada para Alim Ulama. Oleh karena itu kedudukan Alim Ulama dalam masyarakat dan negara Pacasila ini adalah sangat penting. Karena demikian besar peranan Alim Ulama dalam pembangunan masyarakat, maka beliau menganggap sangat tepat adanya Majlis Ulama Indonesia (MUI).

Kemudian, Menteri Agama kala itu, Prof. Dr. H.A. Mukti Ali menyampaikan bahwa berdirinya MUI itu sebenarnya bukan hanya keinginan umat Islam sajatetapi keinginan seluruh bangsa Indonesia. Dengan berdirinya MUI, maka kesatuan dan persatuan umat Islam akan terbina. Pemerintah dan rakyat akan mudah menyatukan pendapat serta berbuat sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Prof. Dr. HAMKA terpilih sebagai Ketua Umum MUI Pertama. Beliau mengatakan bahw amar ma’ruf nahi munkar adalah pekerjaan yang sugguh- sungguh berat, menyebut mudah, melaksanakannya sangat sukar. Kalau kiranya ajakan kerjasama Pemerintah dapat kita laksanakan dengan baik, sehingga kita menjadi khairu ummah, lalu benar-benar beramar ma’ruf, bernahyi mungkar dengan dasar iman kepada Allah, insya Allah usaha kita ini akan jaya dan sukses. Oleh sebab itu menjadi kewajiban bagi kita, yang telah dipercayai rakyat dan dipercayai pemerintah agar lebih taqarrub kepada Allah.

-AMR-