Oleh Prof Dr. H. Zakaria Syafe’I, M.Pd, Sekum MUI Provinsi Banten
“Ketahuilah , dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tentram”. (Q.S. 13 . 28)
Begitu cepat proses perekembangan dunia ini, sehingga dirasakan semakin maju dan modern. Sebagai ekses dari padanya dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang drastis, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Di antara perubahan yang cukup memberikan kegetiran dan keprihatinan kita adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai kehidupan masyarakat. Zaman ini seakan-akan menawarkan manusia untuk berkompetensi guna meraih sukses dan kemenangan, sekalipun harus menanggalkan dan meninggalkan norma-norma agama yang pada gilirannya akan mengantarkan mereka cenderung untuk mengejar kepentingan duniawi, berperilaku dan berpola hidup sekualristik dan matrealistik.
Dalam kondisi yang serba global ini, sebagian orang begitu berambisi dan berasumsi bahwa ketenangan hidup dan ketentraman jiwa hanya dapat diukur dengan melimpahnya harta benda, rumah yang megah, kendaraan yang mewah, pendamping hidup yang menawan, seluruh kebutuhan terpenuhi dan segala fasilitas memadai. Sebagai konsekwensi dari padanya, tidak sedikit di antara mereka terjangkiti penyekit resah, gelisah bahkan stres. Padahal manakala direnungkan, benda-benda lahiriyah itu hanya merupakan nikmat yasang nisbi dan tak abadi. Harta dan kesenangan dunia bukanlah jaminan yang dapat mententramkan jiwa. Sebaliknya, jiwa yang tentram akan menimbulkan ketenangsan hidup, sekalipun miskin harta, namun kaya jiwa, pandai bersyukur dan merasa puas dengan apa adanya.
Kehidupan yang selalu mementingkan urusan dunia dan melupakan Allah adalah sebagai ciri dari insan yang dikendalikan oleh hawa nafsu dan dirasuki setan. Apabila orang yang telah terbelenggu oleh hawa nafsunya, maka akan lahir sifat-sifat serakah, rakus, ambisi kekuasaan dan kedudukan, penyelahgunaan jabatan, manipulasi, mementingkan diri sendiri, berbuat keji, menindas yang lemah, tirani dan sebagainya.
Manusia yang hidupnya melupakan Allah, maka Allah pun akan melupakannya (QS. 39.19), bahkan Dia akan menurunkan adzabnya dengan tiba-tiba, sehingga mereka menjadi orang-orang yang berputus asa (QS. 6.44) dan yang bepaling dari mengingatnya Allah, niscaya hatinya akan merasakan kehidupannya yang serba sempit (QS. 20.124) dan jika hawa nafsu mendominasi dirinya, mereka itu tidak lain hanya seperti binatang ternak bahkan lebih sesat (QS. 16. 107-108), sedangkan apabila manusia diberi kedudukan atau kekuasaan, lalu ia bertindak sewenang-wenang, merusak alam lingkungan, karena dorongan nafsu serakah, tamak dan membanggakan kebesaran dan kedudukannya, maka ia kelak ditempatkan di neraka jahanam (QS. 2. 205-206). Allah menegaskan , bahwa kehidupan di dunia ini, tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu (QS.. 57. 20)Bisikan setan (jin dan manusia) dapat menjerumuskan manusia kepada lembah kesesatan dan kejahatan. Setan tidak patut disembah dan dijadikan sumber ketergantungan, karena jelas menjadi musuh yang nyata (QS. 60-61) pekerjaannya membisikan kejahatan pada dada manusia (QS. 1114. 4-5) menghiasi perbuatan jahat, seolah-olah merupakan kebaikan (QS. 6. 43) mengusahakan supaya manusia terjadi konflik, permusuhan dan saling mendendam (QS. 17. 53 dan QS. 5. 91)
Setiap manusia pasti mendambakan ketenangan hidup, dan ketenangan hidup akan sangat ditentukan oleh ketentraman jiwa, sedangkan ketentraman jiwa hanya dapat diperoleh melalui dzikir (ingat) kepada Allah SWT (QS. 13.28), ingat kepada Allah artinya meyakini eksistensi kemaujudan dan keesaan Allah serta mengakui, menerima dan mengamalkan seluruh ajarannya. Dzikirullah menuntut adanya konsekwensi iman yang kokoh (Q.S. 41. 30) terrefleksikan dalam amal nyata berupa dzikir dengan lisan, hati dan pikiran dan perbuatan (QS. 2. 152) patuh dan taat kepada perintah-Nya (QS. 42. 15) takut kebesaran-Nya, menahan diri dan tidak tunduk pada kehendak hawa nafsu (QS. 79. 40 dan Q.s. 18. 28)
Sikap dan pola hidup yang berlandaskan iman dan diwujudkan dengan amal sholeh merupakan bukti dari dzikir kepada Allah sebagai langkah positif menuju terciptanya kondisi pribadi manusia yang memiliki ketenangan jiwa yang melahirkan ketenangan hidup. Berangkat dari sinilah,
maka akan terbentuk pula masyarakat yang harmonis, tentram, damai adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Dalam era globalisasi yang penuh tantangan ini, mutlak bagi setiap individu bangsa Indonesia untuk mebekali diri dengan moral, norma agama dan pembinaan mental spiritual sebagai aplikasi dari dzikirullah, di samping tidak dapat diabaikan peningkatan di bidang pembangunan pisik matrial guna mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Dengan demikian, insya Allah akan tercapai cita-cita luhur bangsa Indonesia yaitu terwujudnya masyarakat adil makmur di bawah naungan magfiroh Allah swt yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.



