Oleh : Prof. Dr. H.E. Syibli Syarjaya, LML.M.M.
Rektor UNMA Banten, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah UIN SMH Banten, Ketua Harian LPTQ Provinsi Banten, Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Banten.
Pendahuluan
Para ulama tidak ada kata sepakat mengenai jumlah ayat-ayat ahkam dalam al-Qur’an, hal itu tergantung kepada cara pandang mereka terhadap struktur dan kandungan ayat tersebut. Al-Gazali, al-Razi dan Ibnu Qudamah mereka menyatakan bahwa ayat ahkam dalam al-Qur’an berjumlah 500 ayat, sementara Abdul Wahab Khallaf hanya menyebutkan 368 ayat saja. Al-Mubarak mengatakan bahwa ayat ahkam berjumlah sebanyak 900 ayat, bahkan Abu Yusuf menyebutnya sebanyak 1000 ayat. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut di atas, yang pasti para ulama sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam yang dalam implementasinya dibutuhkan suatu penafsiran.
Tafsir ahkam, yang dalam istilah Adz-Dzahabi (II : 379) disebut dengan tafsir fiqhi, sangat subur untuk dibahasnya, karena ayat-ayat yang ditafsirkannya berkenaan dengan hukum-hukum syara’ yang bersifat praksis yang berkenaan dengan perbuatan mukalaf. Fiqih, menurut ulama Syafi’i diartikan dengan ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praksis (‘amali) yang diambil dari dalil-dalil yang terinci (tafshîli) (Wahbah Az-Zuhaeli : I : 19). Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf fikih diartikan sebagai kumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat praksis (‘amali) yang dihasilkan dari dalil-dalil yang terinci (tafshili).
Dengan memperhatikan dua definisi tersebut di atas, maka fikih dapat diartikan sebagai ilmu dan dapat pula diartikan sebagai kumpulan/kodivikasi hukum. Sebagai ilmu dapat dilihat dari terminologi yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah (sebagaimana diungkapkan oleh Wahbah Az-Zuhaeli), sementara sebagai kumpulan hukum dapat dilihat dari terminilogi yang ditawarkan oleh Abdul Wahab Khallaf di atas.
Kemudian apabila fikih diidentifikasi sebagai ilmu maka ia dinyatakan secara deskriptif dan dia merupakan wacana intelektual dengan menggunakan cara berfikir ilmiah. Namun, apabila fikih diidentifikasi sebagai kumpulan hukum, maka ia dinyatakan secara preskriptif dan fikih merupakan kumpulan hukum produk pemikiran para mujtahid yang dijadikan salah satu patokan dalam penataan kehidupan manusia (Cik Hasan Bisri : 2004 : 40)
Pengertian Tafsir
Secara lughawi, tafsir dapat diartikan dengan penjelasan dan penerangan (al-Zarqoni:t,t.:3). Pengertian tersebut sejalan dengan ungkapan firman Allah (Q.S.25 al-Furqon : 33)
وَلَا يَأۡتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئۡنَٰكَ بِٱلۡحَقِّ وَأَحۡسَنَ تَفۡسِيرًا
Artinya : Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya
Adapun pengertian Tafsir menurut istilah adalah suatu ilmu guna memahami Kitabullah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Serta menerangkan ma’nanya dan mengeluarkan hukum-hukum beserta hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya (al-Zarkasyi : 1957 : 13). Berdasarkan pengertian tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai oleh tafsir adalah memahami makna-makna al-Qur’an, hukum-hukum, hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya, guna kebabagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan mempelajari tafsir, orang akan terhindar dari kesalahan dalam memahami isi kandungan al-Qur’an.
Syarat-syarat Mufassir
Seorang penafsir al-Qur’an berhadapan dengan tugas ilmiah yang sangat berat, karena materi yang ía tafsirkan adalah Kalamullah, bukan kata-kata atau hasil karya manusia. Oleh karena itu, para ulama telah memberikan persyaratan yang cukup ketat bagi seorang mufassir al-Qur’an. Di antara persyaratan yang harus dikuasai oleh seorang mufassir sebagaimana diungkapkapkan oleh As-Sayuthi dalam al-Itqon fi ‘Ulumil Qur’an (1970 : 182) sebagai berikut :
- lImu Bahasa; ilmu ini perlu dimiliki guna mengetahui kosa kata dan maknanya, bahkan imam Malik dalam al-Alusi (1987:5) menyatakan: bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan Kitabullah tanpa pemahaman yang mendalam terhadap bahasa Arab.
- Ilmu Nahwu; ilmu ini amat diperlukan mengingat suatu kata dapat beruhah maknanya dan mempunyai arti lain disebabkan karena perubahan ‘irabnya.
- Ilmu tashrif ilmu ini perlu dikuasai karena seorang mufassir akan dapat mengetahui dengan mudah bentuk kata-kata yang berubah dan tidak berubah (mu’rab dan mabni), sekaligus perubahan maknanya.
- Ilmu Isytiqaq (ilmu etimo1ogi); ilmu ini diperlukan untuk mengetahui dasar pembentukan akar kata yang melahirkan kata-kata serumpun dengan makna yang berlainan.
- Ilmu Balaghah (ma’ani, Bayan dan Badi’) ; ilmu ini diperlukan guna mengetahui keistimewaan susunan kalimat baik dari segi makna yang dihasilkan, kiasan-kiasan dan gaya bahasa.
- Ilmu Qira’ah ilmu ini dapat membantu mufassir dalam menentukan qiroat yang lebih sesuai dengan arti dan ungkapan ayat dimaksud.
- Ilmu ushuluddin; ilmu ini diperlukan karena dengannya seorang mufassir akan dapat mengetahui dalil-dalil pembuktian dari al-Qur’an mengenai sifat-sifat yang mustahil, yang wajib dan yang jaiz bagi Allah Swt.
- Ilmu ushul fiqh ilmu ini sangat penting bagi mufassir dalam rangka mengistimbathkan hukum dari dalil-dalilnya.
- Ilmu asbabun nuzul; ilmu ini perlu, karena dengànnya maksud suatu ayat dapat ditemukan arti dan konteks ayat tersebut serta peristiwa yang menyertainya.
- Ilmu nasikh mansukh; ilmu ini diperlukan guna mengetahui ayat-ayat yang muhkam, hingga seorang mufassir tidak benistidlal dengan ayat yang mansukh, baik hukum maupun tilawahnya.
- Ilmu fiqh; ilmu ini diperlukan karena seorang mufassir akan dapat mengetahui pandangan-pandangan para fuqaha, termasuk metodologi istimbath al-ahkam mereka.
- Ilmu hadits; seorang mufassir al-Qur’an diwajibkan untuk mengetahui katagori setiap hadits, dari segi shahih, da’if atau maudlu’. Sebab tanpa mengetahui ilmu ini, mufassir akan mudah terbawa arus ceritera Israilyat yang kadangkala tidak sesuai dengan ajaran Islam.
- Ilmu mauhibah yaitu ilmu yang dianugerahkan oleh Allah kepada orang yang mengamalkan ilmunya dengan tulus ikhlash. Al-Sayuthi (1970 : 182) menyatakan, bahwa ada sementara oranng yang menduga bahwa ilmu ini tidak dapat dicapai dan dijangkau oleh daya kekuatan akal fikiran manusia, padahal sebenarnya tidaklah sesulit apa yang dibayangkan, karena cara untuk memperoleh ilmu ini cukup hanya dengan mengamalkan semua ilmu yang telah dimilikinya dan selalu berlaku zuhud.
Hajat Manusia Terhadap Tafsir
Al-Qur’an yang diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari dan berisi 5 (lima) prinsip pokok ajaran, yaitu : (1) ibadah, (2) tauhid, (3) janji dan ancaman, (4) hukum-hukum dan peraturan-peraturan, serta (5) ceritera mengenai Nabi-Nabi terdahulu (Depag RI : 1984 : 68), tidak akan dapat merangkum semua kasus yang timbul di permukaan bumi ini, karena sesudah wafat Rasulullah ayat-ayatnya tidak bertambah lagi, begitupula dengan hadits rasulullah. Namun demikian, al-Qur’an sebagai kitab suci mengandung pokok-pokok ajaran yang cukup potensial untuk dikembangkan sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.
Oleh karena itu, untuk menjawab kasus-kasus tersebut, diperlukan interpretasi dan ijtihad dari para mufassir, agar al-Qur’an tetap aktual dan dapat diaplikasikaskan di tengah-tengah masyarakat sebagai kitab suci yang menjadi pedoman hidup di dunia menuju kebahagiaan di akhirat. Karena sesuatu yang terbatas jumlahnya tidaklah ia akan dapat menjawab dan merangkum semua permasalahan yang tidak terbatas dan cukup komplek. Oleh karena itu al-Sahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal (t.t. : 200) mengungkapkan hal itu sebagai benikut :
وبالجملـة نعلم قطـعا ويقـيـنا أن الحـوادث والـوقائـع فى العبادات والتصــرفات مما لا يقـبل الحصــر والـعـد, ونعـلم قطـعا أيضا انه لم يرد فى كل حـادثة نـص ولا يـتـصـور ذلك أيـضا, والنصـوص اذا كانت متـناهيـة والـوقائع غـير متـناهيـة وما لا يـتـناها لا يظـبـطـه ما يتـناهى , علـم قطـعا أن الاجـتهاد والقـياس واجب الاعـتبار حتى يكـون بصـدد كل حادثة اجـتهاد
Artinya : Secara keseluruhan, kita dapat mengetahui dengan pasti dan yakin, bahwa semua peristiwa dan kejadian, baik dalam bidang ibadat maupun rnu’amalat, tidak terbatas dan tidak terhingga jumlahnya. Di samping itu kita meyakini pula, bahwa tidaklah setiap peristiwa itu ada nashnya. Apabila nash terbatas sedangkan peristiwa dan kasus tidak terbatas, maka sudah barang pasti nash tursebut tidak akan dapat meliputnya. Dengan demikian kita dapat meyakinkan, bahwa ijtihad dan qiyas sangat diperlukan, sehingga setiap kasus dapat ditanggulangi dan diselesaikan dengan ijtihad. (tafsir/interpretasi)
Pernyataan tersebut di atas menegaskan, bahwa al-Qur’an yang terbatas jumlah ayatnya perlu sekali ditafsirkan dan diinterpretasikan, agar senantiasa dapat menjadi pedoman dan pandangan hidup manusia sepanjang zaman. Sejalan dengan itu, al-Alusi dalam muqaddimah tafsirnya (Ruh al-Ma’ani : 1987 : 5) menulis suatu jawaban atas pertanyaan tentang mengapa tafsir al-Qur’an dibutuhkan ?. Ia menegaskan, bahwa penafsiran Kitab Suci al-Qur’an mencakup semua hukum-hukum syari’at yang menjadi kunci kebahagiaan abadi, merupakan tali pegangan yang kuat dan tidak pernah putus. Tetapi penafsiran tersebut merupakan sesuatu yang sangat sulit serta tidak dapat diketahui caranya kecuali dengan curahan taufiq dan hidayah dari Allah Swt. Para shahabat Nabi yang tidak dapat diragukan lagi kecerdasan dan kemampuan bahasa Arabnya, terlebih-lebih mereka masih bersamaan masanya (hidup bersama) dengan Rasulullah, ternyata mereka masih berdatangan kepada Rasulullah untuk momohon penjelasan tentang sesuatu yang mereka sendiri tidak mampu memahaminya yang kadangkala malah membingungkan mereka sendiri. Hal semacam itu pernah dialami oleh ‘Adi bin Hatim mengenai firman Allah
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
Artinya : makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Q.s. 2 al-Baqoroh : 187).
Dalam kaitannya dengan hajat manusia terhadap tafsir, al-Sayuthi dalam al-Itqon (1970 : 172) menyatakan pendapatnya sebagai berikut : Bahwa setiap penulis buku, senantiasa berharap agar bukunya itu dapat difahami dengan mudah dan tanpa komentar. Sedangkan komentar (tafsir) hanya dibutuhkan karena adanya sesuatu masalah yang meragukan dan membingungkan, antara lain disebabkan hala-hal berikut ini :
a. Kesempurnaan kualitas pengarang. Pengarang seperti ini memiliki kualitas ilmu yang cukup tinggi, sehingga ia sanggup menghimpun makna-makna yang terinci dalam bentuk yang simple (ijaz), si pembaca oleh karenanya sulit menjangkau maksud yang dikehendakinya. Dalam hal semacam ini, tafsir sangat dibutuhkan untuk menjabarkan makna-makna yang tersembunyi dalam karyanya. Karena itu komentar (tafsir) yang dibuat sendiri oleh si pengarang, akan lebih mantap dan dapat menunjukkan maksud yang dikehendaki dalam karangan tersebut, dibandingkan dengan komentar (tafsir) yang dihasilkan orang lain.
b. Tertinggalnya sebagian lafadz yang dapat menyempurnakan suatu ungkapan masalah, atau persyaratan kesempurnaannya, karena si pengarang berkeinginan untuk menjelaskan secara garis besarnya saja, atau karena berhubunqan dengan ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal yang demikian ini diperlukan adanya komentar (tafsir) guna menjelaskan lafadz yang tertinggal dari ungkapan masalah tersebut.
c. Adanya lafadz-lafadz yang memiliki indikasi makna ganda, seperti lafadz majaz (metaporic), lafadz musytarok dan lain-lain. Dalam kondisi semacam ini diperlukan adanya suatu komentar (tafsir) guna menjelaskan maksud yang dituju oleh si pengarang serta kemungkinan arti lain yang lebih tepat.
Apabila ketiga point tersebut di atas dapat dipahami secara seksama, maka dapat dinyatakan bahwa al-Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab dan pada masa orang-orang Arab gandrung akan sastra, tentu mereka akan dapat mengetahui lahiriah dan hukum-hukum yang di bawa al-Qur’an. Adapun kandungan yang mendalam serta makna-makna yang tersirat, baru akan jelas bagi mereka setelah melalui proses pembahasan dan pemikiran yang cermat, serta menghadapkan persoalan tersebut kepada Rasulullah Saw. Sebagai penafsir pertama terhadap Kalamullah.
Dari uraian itu, dapatlah difahami bahwa al-Qur’an yang telah tetap dan paten jumlah ayatnya, sangat penting untuk ditafsirkan, agar dapat menjawab kasus-kasus dan peristiwa-peristiwa yang timbul di kalangan ummat manusia. Karena pada dasarnya setiap peristiwa yang muncul di kalangan ummat manusia telah ada ketetapan hukumnya. Al- Syafe’i dalam Ar-Risalah : 477 menyatakan sebagai berikut :
كل مـا نـزل بمسـلم فـفـيه بعـيـنه حـكم لازم
Artinya : segala sesuatu yang datang dan terjadi pada umat islam sudah pasti ada hukum ang mengaturnya.
Dibutuhkannya tafsir al-Qur’an, bukan karena ilmu tafsir ini hanya mempelajari masalah-masalah pokok agama saja, akan tetapi karena obyek kajiannya adalah kalamullah yang dijadikan sebagai pedoman hidup bagi manusia menuju mardlatillah.
Periodisasi Tafsir Ahkam
Penafsiran terhadap ayat-ayat ahkam, ternyata mengalami beberapa periode, di mana menurut hemat penulis, paling tidak periodisasi tafsir ahkam dapat dibagi ke dalam 4 (empat) periode yaitu :
1. Periode Rasulullah hingga lahirnya Madzhab
Pada masa Rasulullah saw. ummat Islam dapat memahami isi kandungan al-Qur’an baik yang berkenaan dengan akidah maupun syari’ah secara tekstual, sesuai dengan kondisi bangsa Arab ketika itu. Karen apabila mereka mendapati hal-hal yang kurang jelas, mereka langsung datang kepada Rasulullah untuk menanyakan penjelasannya, karena Rasulullah sebagai referensi dan penafsir pertama terhadap al-Qur’an. Oleh karenanya, pada masa itu penafsiran al-Qur’an tidak mengalami kesulitan, sebab di samping Rasulullah masih ada, juga problema yang dihadapi para shahabat belum terlalu komplek.
Namun setelah Rasulullah berpulang ke rakhmatullah, dan Islam mulai berkembang ke luar jazirah Arab, mulailah bermunculan banyak kasus dan peristiwa di kalangan ummat Islam yang harus dengan segera menuntut pemecahan hukumya secara benar dan akurat. Langkah pertama yang mereka tempuh adalah meneliti dan mencari tahu di dalam al-Qur’an. Jika mereka menemukan jawaban di dalamnya, dengan segera mereka menerapkannya. Bi1a tidak, mereka mengalihkan penelitiannya kepada Sunnah Rasulullah. Namun apabila mereka tidak menemukan jawabannya, mereka mulai berijtihad dengan menggunakan ra’yunya, baik dilakukan secara individual maupun secara kolektif, dengan tetap berpegang kepada prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Hasil nalar dan ijtihad mereka dari ayat-ayat al-Qur’an, adakalanya bersamaan, tetapi tidak jarang mereka berbeda pendapatnya. Pernah terjadi perbedaan hasil ijtihad antara Umar RA. dengan Ali bin Abi Thalib RA. dalam penyelesaian kasus iddah (masa tunggu) seorang wanita yang sedang hamil dan ditinggal mati oleh suaminya. Umar bin Khatab memutuskan, bahwa iddah perempuan semacam itu sampai dengan melahirkan kandungannya (wadu’ al-hamli). Sedangkan Ali bin Abi Thalib memutuskannya dengan memilih masa yang terpanjang dan terlama di antara dua iddah tersebut (ab’adul ajalain), yaitu melahirkan atau iddah wafat (empat bulan sepuluh hari).
Faktor penyebab perbedaan itu adalah kontradiksinya antara ayat yang berkenaan dengan iddah wafat (Q.s. 2 : 234) dengan ayat yang berkenaan dengan iddah hamil (Q.s, 65 : 4), yang menjelaskan bahwa iddah hamil sampai dengan melahirkan kandungannya, sedanqkan iddah wafat adalah empat bulan sepuluh hari. Ali bin Abi Thalib nampaknya bermaksud untuk mengkompromikan kedua ayat tersebut di atas, hingga ia berkesimpulan bahwa Iddah wanita semacam itu adalah memilih di antara dua masa yang terpanjang (ab’adu al-ajalain). Sedangkan Umar bin Khatob berpendàpat bahwa ayat 4 al-thalak (iddah hamil), merupakan pentakhshish terhadap ayat 234 al-Baqarah (Iddah wafat). Oleh karena itu Umar berkesimpulan bahwa dalam kasus tersebut yang diberlakukan adalah iddah hamil (Hudlari Beyk : 1930 : 113).
Contoh lain dari perbedaan pendapat para shahabat terhadap kasus fiqih, yaitu ketika menyelesaikan masalah warits. Kasus tersebut terjadi kwtika seorang ostri meninggal dunia dan meninggalkan ahli warits terdiri atas seorang suami, ayah dan ibu. Ibnu Abbas berpendapat bahwa dalam kasus tersebut suami memperoleh setengah, ibu sepertiga dan, sisanya diberikan kepada ayah sebagai ashobah. Ia berlandaskan kepada firman Allah (Q.S. An-Nisa : 11)
فَإِن لَّمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٞ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ ١١
Artinya : jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
Konsekwensi dari pembagian tersebut maka suami akan memperoleh tiga per enam bagian, ibu dua per enam bagian dan ayah hanya memperoleh sisanya yaitu seper enam bagian.
Sementara Zaid bin Tsabit beserta shahabat lainnya berpendapat bahwa suami setengah, ibu sepertiga dari sisa dan ayah sisanya sebagai ashobah, karena ibu adalah wanita dan ayah laki-laki. Mereka berpedoman kepada firman Allah (Q.S. an-Nisa : 11)
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
Artinya : Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan;
Berdasarkan teori pembagian semacam itu, maka perolehannya sebagai berikut : suami tetap memperoleh tiga per enam bagian, ibu seper enam bagian (karena sepertiga dari sisa yaitu 1/3 x 3 = 1), sementara ayah memperoleh dua per enam sebagai bagian sisa/ashobah.
Salah satu sikap yang patut dipuji pada periode ini dan berhak mendapat acungan jempol serta dapat dijadikan contoh, adalah sikap sportif dan jiwa besar mereka dalam menerima dan menghargai pendapat dan hasil ijtihad orang lain, apabila pada suatu saat hasil ijtihadnya itu dirasa kurang tepat dan ternyata ada hasil ijtihad orang lain yang lebih baik, maka dengan sportif dan lapang dada mereka menarik pendapatnya itu dan mengambil pendapat/hasil ijtihad orang lain. Sifat semacam ini, pernah diamanatkan oleh Umar bin Khatab kepada Abu Musa al-Asy’ari sebagai gubernur Kufah, dalam suratnya yang berbunyi :
فان الحـق قـديم لا يبـطـله شـىء ومـراجـعـة الحـق خـير من التـمادى فى الباطـل
Artinya : Bahwa yang benar itu sifatnya abadi dan tidak akan tergoyahkan oleh apapun, oleh sebab itu kembali kepada yang benar lebih baik daripada harus terus bergelimang dalam kesalahan (Ibnu al-Qoyyim : I : 1973 : 86)
- Periode Imam-Imam Madzhab
Periode ini ditandai denngan lahirnya imam-imam madzhab, terutama madzhab yang empat, yaitu sejak abad kedua Hijriah sampai dengan abad ke III (tiga) Hijriah. Pada masa ini Islam telah berkembang dan tersebar sampai ke Asia Afrika, bahkan ke Andalusia di Eropa. Oleh karenanya sudah barang tentu banyak kasus dan permasalahan yang bermunculan di kalangan ummat Islam yang menuntut ketetapan hukumnya. Dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut, para ulama senantiasa berpedoman kepada teks-teks yang terdapat di dalam al-Qur’ an dan al-Sunnah, serta amal dan pernyataan para shahabat. Namun apabila mereka tidak menemukannya, mereka lalu berijtihad dengan menggunakan metodologi istimbath al-ahkam masing-masing.
Dalam upaya penalaran (ijtihad) terhadap hukum dari suatu kasus, mereka kadang-kadang sepakat karena sefaham, tetapi tidak jarang mereka berselisih pendapat. Perselisihan itu sering disebabkan oleh perbedaan metode istimbath yang mereka gunakan. Namun satu hal yang sangat menarik pada masa ini ialah bahwa meskipun mereka berbeda pendapat, mereka tidak pernah fanatik dan egoistik. Mereka senantiasa merindukan kebenaran dan terus mengadakan penelitian-penelitian. Mereka tidak pernah merasa kalah atau rendah, tetapi justru mereka menumbuhkan jiwa besar dan sikap sportip. Mereka tidak pernah mgenganggap remeh atau melecehkan pendapat yang lainnya, bahkan pada saat itu dikenal semboyan
مذهبى صواب يحتمل الخطاء ومذهب غيرى خطاء يحتمل الصواب
Artinya : madzhabku benar tetapi mengandung kemungkina salah, sedang madzhab selainku salah, tetapi mengandung kemungkinan benar”.
Mereka tidak pernah mengharapkan apalagi menganjurkan ummat untuk mengikuti pendapat dan hasil ijtihad mereka, tetapi justru mereka mendorong ummat untuk kembali dan mendalami a1-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Bukti ketasamuhan dan keterbukaan mereka dalam menerima pendapat orang lain, dapat difahami dari pernyataan-pernyataan mereka sendiri, sebagai berikut :
a. Abu Hanifah menyatakan :
اذا كان قـولى يخـالف كـتاب اللـه وحـديث الرسـول صـلى اللـه عليه وسـلم فاتركـوا قـولى
Artinya : Apabila pendapatku menyalahi Kitabullah dan hadits Rasulullah, maka tinggalkanlah pendapatku itu.
b. Imam Malik menyatakan
انما أنا بشـر أخـطىء وأصيـب فانـظـروا فى رأيى فما وافـق الكـتاب والسـنة فخـذوه وما لم يوافـق الكتاب والسـنة فاتـركـوا
Artinya : Saya ini hanyalah manusia biasa, yang bisa salah dan bisa benar. oleh karena itu, telitilah semua pendapatku, apabila pendapat tersebut sesuai dengan kitab sunnah, ambilah, Apabila tidak, tinggalkanlah,
c. Al-Syafe’i menyatakan :
اذا صـح الحـديث فهـو مـذهـبى
Artinya : Apabila hadits tersebut shahih, maka itulah madzhabku.
d. Ahmad ibnu Hambal menyatakan
لا تقلـدونى ولا تقـلـدوا مالـكا ولا تقـلدوا الأوزاعى ولـكن خـذوا من حيث ما أخـذوا
Artinya : Janganlah kamu bertaqlid kepadaku, juga kepada Imam Malik, begitu pula kepada Auza’i, tetapi ambillah dari sumber (referensi) mereka,
- Periode taqlid dan fanatisme madzhab
Periode ini dikenal dengan periode pembelaan madzhab oleh para pengikutnya, di mana pada masa ini fanatisme madzhab sedemikian tinggi, sehingga masing-masing penganut madzhab tidak mengenal toleransi atau tenggang rasa terhadap madzhab lain di luar yang dianutnya. Masing-masing penganut memandang pendapat imam madzhabnya bagaikan nash syara’ yang patent dan wajib diikuti.
Penalaran yang dilakukan para muqollid ini terhadap nash-nash syara’, bertujuan hanya semata-mata untuk membela pendapat imam madzhabnya, bahkan lebih jauh melemahkan madzhab-madzhab lain. Apabila mereka menemukan nash syara’ yang kelihatannya paradok dengan pendapat imam madzhabnya, maka mereka berusaha secara maksimal untuk menakwilkan nash tersebut agar sejalan dengan pendapat imam mereka. Apabila nash tersebut sulit ditakwil, mereka beralih kepada teknik nasikh mansukh atau teknik takhshish yang tujuannya tiada lain kecuali agar nash tersebut sejalan dengan madzhab imam mereka, meskipun teknik tersebut terlihat agak menyimpang.
Pola tersebut di atas pernah dikemukakan oleh al-Karokhi (w. 340 H.), salah seorang pengikut Abu Hanifah, yang menyatakan : bila kami mendapatkan ayat-ayat al-Qur’an atau hadits Rasulullah yang kelihatannya bertentangan dengan madzhab kami, maka nash tersebut kami takwilkan atau kami pandang ia mansukh (as-Subki dan Ali al-Sayis : 1936 : 281)
كل آية او حـديث يخـالـف ما عليـه أصـحـابنا فهـو مـؤول او منسـوخ
Artinya : ayat-ayat atau hadits-hadits yang bertentangan dengan pendapat madzhab kami, maka kami takwilkan atau kami anggap ayat tersebut ternasakh.
Di antara kitab-kitab tafsir ahkam/tafsir fiqhi dari kalangan ulama madzhab antara lain :
a. Tafsir Fiqhi dari kalangan Hanafiyah
- Ahkam al-Qur’an; yang dikarang oleh Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar-Razi, yang lebih tenar dipanggil dengan al-Jashshash (305-370 H), sehingga sebagaian orang lebih familier menamai kitab tersebut dengan tafsir al-Jashshash.
- At-tafsiratul Ahmadiyah fi Bayanil Ayat asy-Syar’iyah, karya Ahmad bin Abi Sa’id bin Ubaidillah yang sering dipanggil dengan Mulajiyyun, (Wafat 1130 H) ulama abad ke sebelas Hijriyah (Adz-Dzahabi : II : 382)
- Ahkam Al-qur’an al-Karim, karya Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Salmah bin Abdul Malik Al-Hajri al-Azdi, yang lebih populer dipanggil dengan Ath-Thahawi, dinisbatkan kepada daerah Thaha suatu kota di Borsaid Mesir. Ia lahir tahun 239 H dan wafat pada bulan Dzul Qaidah 321 H di Mesir (Adz-Dzahabi : III : 419)
b. Tafsir Fiqhi dari kalangan Syafi’iyah
- Ahkamul Qur’an, karya Imaduddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ali Ath-Thabari, yang lebih familier dipanggil dengan Al-Kiya al-Harrasi. Lahir di Hurosan pada tahun 450 H dan wafat di Bagdad pada tahun 504 H.
- Al-Qaulul Wajiz fi Ahkam al-Kitab al-‘Aziz, karya Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Yusuf bin <Muhammad al-Halabi, yang lebih populer dipanggil dengan As-Samin (W. 756 H).
- Ahkam al-Kitab al-Mubin, karya Ali bin Abdullah Mahmud Asy-Syanfaki, termasuk ulama abad ke Sembilan hijriah.
- Al-Iklil fi Istimbath al-Tanzil, karya Jalaluddin As-Sayuthi (W. 911 H) (Adz-Dzahabi : II : 383)
c. Tafsir Fiqhi dari kalangan Malikiyah
- Ahkam al-Qur’an; karya Al-Qodli Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Ma’afiri al-Andalusi al-Isybili, yang lebih populer dengan panggilan Ibnul ‘Arabi, lahir pada tahun 468 H dan wafat pada tahun 543 H.
- Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an; karya Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakarbin Farh al-Anshari, al-Andalusi al-Qurtubi, yang lebih populer dipnggil dengan AL-Qurthubi, beliau wafat pada bulan Syawal 671 H. (Adz-Dhahabi : II : 401)
- Ahkam al-Qur’an; karya Abu Abdillah Muhammad bin Sahnun al-Qoiruwani (W. 255 H).
- Tafsir Fiqhi dari kalangan Hanabilah
a. Ahkam al-Qur’an; karya Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Farra (W. 458 H)
b. Ahkam ar-Ra’yi fi Ahkam al-Ayat; karya Syamsuddin bin Muhammad bin Abdirrahman Ash-Sha’igh (W. 776 H)
c. Azhar al-Fulah fi Ayah Qashr ash-Shalah, karya Mar’i bin Yusuf bin Abi Bakr al-Maqdisi (W. 1033)
Bukti Kepanatikan Pengikut Madzhab
Sebagai bukti kepanatikan pengikut suatu madzhab terhadap madzhab anutannya, dapat di lihat antara lain ketika mereka menafsirkan ayat-ayat al-qur’an terutama dalam bidang ahkam/fiqh :
Pertama:
Al-Jashash, salah seorang pengikut Hanafi dan pengarang tafsir Ahkam al-Qur’an sebagaimana diuraikan di atas, yang tidak segan-segan ia mengeritik al-Syafe’i dengan kata-kata yang sedemikian pedas dan tajamnya, sehingga al-Dzahabi (1976 : II : 441) mengatakan tidak layak seorang yang semacam Jashash harus berlaku seperti itu terhadap al-Syafe’i yang terkenal sebagai seorang mujtahid mutlak dan orang yang pertama kali menyusun dan mengkodivikasikan disiplin ilmu ushul fiqh dengan bukunya ar-Risalah.
Di antara kritikan al-Jashash terlihat ketika dia menafsirkan firman Allah (Q.S. 4 al-Nisa : 23), tentang muharramat min al-nisa (wanita-wanita yang haram dikawini). Al-Syafe’i berpendapat bahwa anak zina tidak haram dikawini oleh laki-laki yang menzinahi ibunya (bapaknya), sedangkan Hanafi mengharamkannya. Dalam hal ini al-Jashash bangkit membela imamnya (Hanafi), dengan berbagai argumentasi dan bahkan dia berupaya untuk melemahkan argumentasi al-Syafe’i, kemudian dibagian akhir uraiannya, al-Jashshash menyatakan: sekarang telah jelas bahwa yang diucapkan al-Syafe’i dan pengikut-pengikutnya adalah omong kosong belaka yang tiada artinya sama sekali. Saya tidak menduga sama sekali bahwa orang yang biasa mengadakan nalar/ijtihad semacam al-Syafe’i mengajukan argumentasi yang anak kecil dan orang bodoh pun tidak akan dapat menerima alasan seperti itu (Ahkam al-Qur’an : II : 118).
فقـد بان أن ماقالـه الشـافعـى وما سـلمه لـه السـائل كلام فارغ لا معنى تحـته فى حـكم ما سئل
Kata-kata yang sama pedasnya yang juga dilontarkan al-Jashshash kepada al-Syafe’i, ketika dia menafsirkan firman Allah (Q.s. 5, al-Maidah : 6) tentang wudlu’, yang berkenaan dengan tartib. Syafi’i mengatakan bahwa tartib termasuk rukun wudlu, sedangkan Hanafi tidak memasukan tartib ke dalam rukun wudlu. Setelah Al-Jashshash mengemukan berbagai argumentasinya, baik naqli maupun aqli kemudian di akhir uraiannya, dia mengatakan :
وهـذا القـول مما خـرج بـه الشـافعـى عـن اجـماع السـلف والفـقـهاء
Artinya : pernyataan Syafe’i semacam in telah keluar dari ijma Salaf dan ijma para fuqoha (Ahkam al-Qur’an al-Jashshash : II : 360).
Kedua :
Al-Kiya al-Harrasi, seorang mufassir pengikut fanatik Syafe’i yang mengarang tafsir Ahkam al-Qur’an, karena kefanatikannya kepada al-Syafe’i yang begitu kental, sehingga ia menganggap madzhab Syafe’i adalah madzhab yang terbaik dibandingkan dengan madzahib al-Islamiyah lainnya. Sampai ia mengatakan bahwa semua pendapat al-Syafe’i harus diyakini kebenarannya bagaikan sebuah nash syara’ yang paten. Sebagaimana dia ungkapkan dalam muqoddimah tafsirnya (t.t. I : 2) sebagai berikut :
ان مـذهب الشـافعـى رضى اللـه عنه أسـد المـذاهب وأقـومها وأرشـدها وأحكـمها وان نظـر الشـافعـى فى أكـثر آرائـه ومعـظـم أبـحاثه يتـرقى عن حـد الظـن والتـخـميـن الى درجـة الحـق واليـقـين
Artinya : Madzhab Syafe’i adalah madzhab yang terbaik dan terlurus serta terbenar dibandingkan dengan madzhab-madzhab lainnya. Begitupula penalaran al-Syafe’i dalam sebagian besar pemikiran dan pembahasannya melampaui batas asumsi dan perkiraan sampai ke tingkat kebenaran dan keyakinan.
Sama halnya dengan al-Jashshash, al-Kiya al-Harrosi pun tidak segan-segan mengeritik dengan bahasa yang kasar terhadap pendapat yang tidak sejalan dengan madzhab imamnya, terutama terhadap madzhab Hanafi. Ia berani mengeluarkan kata-kata “bodoh dan dungu” terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh al-Syafe’i (al-Harrosi : t.t. : 214). Lebih lanjut Al-Harrosi mengatakan :
ولم يعلم هذا الجاهل معنى كلام الشافعى فاعترض عليه بما قاله :
وكم من عائب قولا صحيحا = وآفته من الفهم السقيم
Manusia bodoh dan dungu ini, tidak memahami perkataan Asy-Syafi’i, oleh karena itu dia mendebat dengan sesuka hatinya.
Berapa banyak cercaan terhadap pernyataan yang benar, dan menyalahkannya karena pemahaman yang buruk.
Di antara kritikan Kiya al-Harrosi kepada al-Jashshash, adalah ketika ia menafsirkan firman Allah (Q.s. 4, al-Nisa : 23) yang berkenaan dengan masalah bolehnya seorang laki-laki mengawini anak perempuan hasil zinahnya sendiri (sebagai jawaban atas kritikan al-Jashshash). Di mana setelah ia mengemukakan beberapa argumentasi dan bahkan membantah argumentasi yang diajukan oleh al-Jashshash, kemudian di akhir uraiannya ia menyatakan :
انـه لم يفهـم معـنى كلام الشـافعـى رضى اللـه عنه ولـم يمـيـز بـين محـل ومحـل ولـكل مقـام مقـال ولتفـهـم معانى كـتاب اللـه رجال وليس هـو منـهم
Artinya : Sebenarnya Jashshash tidak memahami kandungan pernyataan al-Syafe’i dan tidak dapat membedakan antara satu masalah dengan yang lainnya. Padahal untuk setiap konteks masalah ada pertimbangan tersendiri. Banyak orang yang mampu memahami Kitabullah, tetapi dia (al-Jashshash) tidak termasuk ke dalam golongan itu (dalam arti al- Jashshash masih bodoh, pen.) (Kiya al-Harrosi t,t. : 213).
- Tafsir Ahkam di Kalangan Firaq al-Islamiyah
Bila diperhatikan dari ketiga periode tafsir fiqhi tersebut di atas, maka akan terlihat bahwa para mufassir pada dua periode sebelumnya, terhindar dari subyektifitas dan prasangka buruk serta tujuan-tujuan tertentu. Mereka menafsirkan al-Qur’an yang ditulis dalam berbagai karyanya, hanya ingin mencari keridloan Allah semata. Tatapi pada periode ketiga, yakni pada masa taklid dan fanatisme madzhab, idealisme tadi berubah menjadi kecenderungan untuk membela madzhab yang dianut.
Di samping ketiga periode tersebut, muncul tafsir fiqhi/ahkam dari kalangan sekte/kelompok islam lainnya, di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Corak Ahlus Sunnah
Dalam menafsirkan al-Qur’an, ahlus sunnah menempuh cara yang telah dilakukan oleh kaum salaf, di samping berpegang kepada dalil naqli yang dikutip dari al-Qur’an, Sunnah Rasul, atsar para shahabat dan para tabi’in, mereka juga menggunakan ra’yu dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Akan tetapi dalam menentukan skala perioritas, mereka konsisten kepada suatu pegangan, bahwa bila ada nash yang shahih dan jelas, maka yang lainnya mereka abaikan.
Dalam mengkaji dan meneliti ayat-ayat al-Qur’an, mereka tidak keluar dari kaidah-kaidah bahasa Arab, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Akan tetapi bila mereka menemukan suatu ayat yang kelihatannya mengandung makna yang kontradiksi antara akal dan naqal, maka mereka berusaha untuk mengkompromikan antara keduanya, tanpa harus keluar dari kaidah-kaidah syar’i dan lughowi. Tetapi apabila tidak dapat dikompromikan, maka naqel yang lebih didahulukan.
b. Corak Syi’ah
Menurut bahasa, Syi’ah berarti penolong dan pengikut, sebagaimana dinyatakan dalam firman Aallah (Q.s. 37, al-Shaffat :83)
۞وَإِنَّ مِن شِيعَتِهِۦ لَإِبۡرَٰهِيمَ ٨٣
Artinya : Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh)
Secara terminologis, kata syi’ah dipergunakan bagi setiap orang yang menjadikan Ali berikut keluarganya sebagai pemimpin secara terus menerus, sehingga kata Syi’ah akhirnya khusus menjadi nama bagi mereka saja (Fairuz zabadi dalarn Basuni Faudah : 1987 : 119).
Syi’ah terdiri dari beberapa sekte, tiap-tiap sekte satu dengan yang lainnya saling berselisih pendapat baik dalam hal madzhab maupun dalam bidang akidah, dan imamah. Sebagian mereka ada yang bersifat ekstrim hingga keluar dari lingkaran Islam, sebagian lagi ada yang bersifat moderat, dan hampir-hampir mendekati/menyerupai golongan ahlus Sunah. Di antara sekte-sekte tersebut, yang masih berkembang dan mempunyai pengikut sampai sekarang, adalah Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah, yang tersebut terakhir ini terbagi kepada dua sekte, yaitu Ismailiyah dan itsna ‘Asyriyah.
Dalam membina dan mengembangkan madzhabnya mereka memiliki pninsip-prinsip dasar yang menjadi anutannya dan selalu mereka jadikan sebagai tolok ukur dalam segala gerak langkahnya. Prinsip dasar tersebut adalah : (1) tauhid (2) keadilan (al-adlu), (3) kenabian (al-Nubuwah), 4) kepemimpinan (al-imamah), (5) kema’suman (al-Ishmah), (6) kemahdian (al-mahdiah), (7) kembalinya para imam (al-roj‘ah) dan (8) menyembunyikan keyakinan (at-taqiyah).
Dari kedelapan prinsip itu, yang paling inti adalah prinsip imamah, Prinsip-prinsip lainnya merupakan cabang dan perluasan dari prinsip imamah. Prinsip imamah, didasarkan kepada pernyataan bahwa Rasulullah saw. telah menegaskan kekhalifahan Ali RA. sepeninggal Rasulullah tanpa berselang. Mereka berkeyakinan, bahwa imamah merupakan urusan yang wajib dari Allah, baik secara sam’iyah (tekstual) maupun secara kontekstual. Imamah, bagi mereka termasuk salah satu rukun agama setelah syahadatain, shalat, zakat, puasa dan, haji (Basuni Faudah : 1987 : 126).
Kaitannya dengan penafsiran Kalamullah/al-qur’an, mereka senantiasa berupaya untuk menyesuaikan ayat-ayat Allah dengan prinsip ajarannya, serta senantiasa berupaya untuk mengagungkan Ali RA. Di samping itu, mereka menyatakan, bahwa al-Qur’an mempunyai makna lahir dan bathin dan al-Qur’an yang beredar sekarang ini (mushhaf utsmani) masih terdapat kekurangan. Al-Qur’an yang lengkap menurut mereka adalah al-Qur’an yang ada pada imam-imam mereka yang ma’shum.
Adapun kitab-kitab tafsir fiqhi di kalangan Syi’ah, antara lain adalah;
- Al-Tsamarat al-yani’ah wa al-ahkam al-Wadhihah al-Qathi’ah.
Tafsir ini dikarang oleh Syamsuddin Yusuf bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad ibn Utsman al-Tsula’i, yang lebih tenar dengan panggilan Yusuf al-Tsula’i, wafat tahun 832 H. Yusuf ats-Tsulai ini, tergolong kepada sekte Syi’ah Zaidiyah (al-Dzahabi : 1 : II : 468). - Kanzu al-’Irfan fi fighi a1-Qur’an
Tafsir ini dikarang oleh Miqdad bin Abdullah bin Muhammad bin Hasan bin Muhammad al-Sayuri, yang hidup pada akhir abad ke 8 dan awal abad ke 9 Hijriah. As-Sayuri tergolong kepada mufassir dari kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyriyah.
3) Fathu al-Qodir
Kitab ini dikarang oleh Muhammad bin Ali bin Abdullah al-Syaukani (1173-1250 H). Syaukani tergolog kepada kelompok Syi’ah Zaidiyah bahkan dalam berbagai hal dia cukup moderat dan lebih dekat kepada sunni (Adz-Dzahabi : II : 249)
Dalam menafsirkan al-Qur’an, golongan Syi’ah senantiasa berorientasi kepada prinsip-prinsip dasar ajarannya, serta berusaha untuk mengkultuskan Ali RA. Sebagai contoh dari penafsiran mereka terhadap Kitabullah, antara lain terlihat ketika mereka menafsirkan firman Allah dalam surat al-Maidah : 55
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمۡ رَٰكِعُونَ ٥٥
Artinya : Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)
Yusuf al-Tsula’i dalam al-Syaukani (II : 50) menyatakan, bahwa sebab nuzul ayat ini berkenaan dengan peristiwa Ali RA., yaitu ketika Ali RA sedang shalat dan dalam keadaan ruku’, tiba-tiba datang seorang peminta-minta dan lewat di hadapan Ali, Ali segera mengulurkan jari tangannya memberikan cincinnya kepada si peminta-minta tersebut, Peminta-minta itu kemudian lewat di hadapan Rasulullah Saw, Rasul bertanya : dari siapa anda memperoleh cincin itu ?, si peminta-minta menjawab : dari orang itu, sambil menunjuk kepada Ali yang sedang melaksanakan shalat, Kemudian turunlah ayat tadi (al-Syaukani : II : 50).
Penafsiran semodel ini, baik yang dilakukan oleh Yusuf al-Tsula’i (II : 58) maupun oleh al-Syaukani di atas, bertujuan hanya untuk meninggikan dan mengkultuskan Ali RA. padahal riwayat semacam itu terkatagorikan ke dalarn hadits maudlu yang dibuat-buat dan nyata-nyata bertentangan dengan ratio yang sehat.
c. Corak Mu’tazilah
Golongan ini sering pula disebut dengan golongan Qodariah karena mereka menyandarkan semua perbuatan manusia kepada kemampuan manusia sendiri dan mengingkari peranan qadar di dalamnya. Mereka ini, dijuluki pula dengan golongan Muta’athilah yaitu penganut faham yang mengingkari sifat-sifat Allah (Basuni Faudah : 1987 : 101),
Di dalam membina madzhabnya, Mu’tazilah menetapkan lima prinsip dasar sebagai landasannya, yaitu : (1) Tauhid, (2) keadilan, (3) janji pahala dan ancaman siksa (al-wa’du wa a1-wa’id), (4) tempat di antara dua tempat ( al-manzilatu baina al-manzilatain) yaitu bahiwa orang yang melakukan dosa besar tidak tergolong kafir, tetapi ia akan menduduki tempat yang berada di antara dua posisi, dan (5) amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam menafsirkan Kalamullah, golongan Mu’tazilah senantiasa berusaha untuk menundukan ayat-ayat al-Qur’an agar sesuai dan selaras dengan prinsip-prinsip madzhabnya. Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk menyelaraskan al-Qur’an dengan dasar-dasar pemikiran madzhab dan 5 (lima) prinsip ajarannya. Metoda semacam ini, sangatlah bertentangan dengan metoda yang dipergunakan oleh ahlus sunnah, yang dalam menafsirkan al-Qur’an selalu mengutamakan kutipan-kutipan dari Rasulullah, shahabat dan tabi’in. Bila mereka tidak mendapatinya, barulah mereka berijtihad dengan menggunakan ro’yunya.
Di antara tafsir dari kalangan Mu’tazilah yang masyhur adalah :
1) Tanzih al-Qur’an ‘an al-matha’in; karya Abdul Jabbar al-Hamdani (W. 415 H.,)
2) Guror al-Fawaid Wa duror al-Qolaid ; karya abu al-Qosim Ali bin Thohir, yang lebih tenar dengan panggilan Syarif al-Murtadlo (w. 436 H.).
3) Al-Kasysyaf ‘an haqaiqi al-tanzil ; karya Abu al-Qasim Mahmud bin Umar al-Khuwarizmi yang lebih dikenal dengan sebutan Zamakhsyari (W. 538H.)
Contoh penafsiran kaum Mu’tazilah, yang berusaha menundukkan wahyu kepada 5 (lima) prinsip, antara lain tentang melihat Allah kelak di akhirat. Sunni berpendapat bàhwa manusia kelak di akhirat akan dapat melihat Allah, sebagal ni’mat yang tertinggi yang diperoleh oleh ahli nsurga, berdasarkan :
Firman Allah Q.S. (75) al-Qiyamah : 22 – 23
وُجُوهٞ يَوۡمَئِذٖ نَّاضِرَةٌ ٢٢ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٞ ٢٣
Artinya : Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat
b) Firman Allah Q.S. (10) Yunus : 26
۞لِّلَّذِينَ أَحۡسَنُواْ ٱلۡحُسۡنَىٰ وَزِيَادَةٞۖ وَلَا يَرۡهَقُ وُجُوهَهُمۡ قَتَرٞوَلَا ذِلَّةٌۚ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٦
Artinya : Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.
Golongan Sunni menafsirkan kata-kata ziyadah dalam ayat tersebut dengan ni’mat melihat Allah, Sedangkan golongan Mu’tazilah tidak menerima tafsiran semacam itu, karena menurut mereka bertentangan dengan salah satu di antara prinsip-prinsip mereka yaitu Tauhid. Qodli Abdul Jabbar, dalam al-Dzahabi (1967 : I : 399), menjawab tafsiran Sunni tersebut sebagai berikut :
1) Bahwa Allah Swt. bukan jisim, oleh karena itu Ia tidak mungkin dilihat, sebab yang dapat dilihat harus memiliki jisim, sedangkan Allah Swt tidak berjisim. Sekiranya Allah dapat dilihat, tentu Allah sama dengan makhluk-Nya padahal Allah tidak sama dengan makhluk. Oleh karena itu, menurut Qodli Abdul Jabbar, ayat tersebut harus ditakwilkan, dan takwilnya adalah sebagai berikut
وجـوه يـومـئذ ناضـرة الى ثـواب ربـها ناظــرة
Artinya : pada hari itu wajah pada berseri-seri, karena menanti pahala yang diberikan Allah.
Dengan demikian maka yang dinanti dan diharapkan oleh wajah-wajah yang berseri-seri tersebut dalam ungkapan ayat ayat di atas, bukan dzat Allah melainkan pahala dari Allah Swt.
2) Di samping itu, mereka pun berargumentasikan dengan firman, Allah Q.S, (6) al-An’am : 103 :
لَّا تُدۡرِكُهُ ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَهُوَ يُدۡرِكُ ٱلۡأَبۡصَٰرَۖ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلۡخَبِيرُ ١٠٣
Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui
Di samping Qodli Abdul Jabbar, Zamakhsyari pun dalam Tafsirnya, al-Kasysyaf (t.t. : I : 294) menanggapi penafsiran Sunni tersebut sebagai berikut ; bahwa ayat 22 dan 23 al-Qiyamah bersifat mutasyabihat, sedangkan ayat 103 al-An’am bersifat muhkamat, Ayat mutasyabihat harus dimasukkan ke dalam ayat muhkamat dan diberlakukanlah ayat yang muhkamat. Teknik ini merupakan salah satu modus yang sering dipergunakan oleh Zamakhsyari dalam ranqka menundukkan wahyu Ilahi yang kelihatannya bertentangan dengan prinsip-prinsip Mu’tazilah,
Penutup
Dari uraian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
- Bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah yang mutlak benarnya, sehingga seorangpun dari kalangan muslim tidak dibenarkan untuk tidak mempercayainya. Oleh karena itu eksistensinya di tengah-tengah masyarakat merupakan suatu keniscayaan yang harus diterima. Sedangkan tafsir al-Qur’an yang merupakan karya mufassir adalah bersifat nisbi dan relatif, yang tidak jarang dalam penyusunannya dipengaruhi oleh subyektifitas si pengarang/si penyusun itu sendini. Oleh arena itu kita dapat menerima atau mengkritisi bahkan menolak penafsiran mereka.
- Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, agar dapat difahami arti dan maknanya, serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan adanya penafsiran yang cermat, yang didasarkan kepada sumber-sumber yang akurat, dengan menggunakan metode yang tepat, serta dengan mengenyampingkan subyektifitas dan kecenderungan diri terhadap suatu madzhab.
- Tafsir fiqhi pada masa pertumbuhannya, ía berkembang dengan mulus dan baik. Tetapi pada periode pengikut madzhab, banyak dipengaruhi oleh subjektifitas dan emosi yang tak terkendali hanya sekedar untuk membela madzhab imamnya.
- Penafsiran al-Qur’an dengan melalui pendekatan fiqih, akan merupakan lahan yang subur, sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi, karena fiqih senantiasa berhubungan dengan aktifitas manusia mukallaf yang bersifat praktis.
DAFTAR BACAAN
Abdul Majid Abd. Salam,Dr. Ittijahaat at tafsir fi ‘ashr ar-Rahiin, alih bahasa M. Magfur Wahid, al-Izzah, Bangil, 1997
Al-Alusi, Syihabuddin Sayid Muhammad, Ruh al-Ma’ani, Daar al-Fikri, Bairut Lubnan. 1977,
Al-Dzahabi, Muhammad Husen, A1-Tafsir wa al-Mufassirun Daaru al-Kutub al-Haditsah Cairo, Mesir, 1987
—————– al-Ittijah al-Munharifah fi tafsiri al-Qur’an al-Karim Dawafi’uha wa-daf’uha (terj,),CV Rajawali, Jakarta, 1986
Al-Jashshash, Abi Bakar Ahmad bin Ali al-Razi, Ahkam al-Qur’an, Isa al-Babi al-Halabi, Cairo, Mesir., 1953
Al-Jauziah, Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakar ibn al-Qoyyim, I’lam al-Muwaqi’in, Daar al-Jael, Beirut, Lubnan, 1973
Al-Juwaeni, Mushthafa al-Shawl, Dr. , Manahij fi al-tafsir, Mathba’ah al-Giizah bi al-Iskandariyah, Mesir, 1971
Al-Kiya al-Harrosi, Ahkam al-Qur’an, Isa al-Babi al-Halabi, Cairo, Mesir.
Al-Sayuthi, Jalaluddin abd al-Rahman, A1-Itqon fi ‘Ulum al-Qur’an, Mushthafa al-Babi al-Halabi, Cairo, Mesi, 1951
Al-Sahrastani, Muhammad abd al-Karim, Al-Milalu wa an- Nihal, Daar al-Fikri, Beirut, Lubnan.
Al-Subki dan Al-Sayis, Mudzakirat fi tarikh tasjri’ al-Islami, Wadi al-Muluk, Cairo, Mesir, 1936
Ash Shiddiqie, Hasbi, T.M, Prof. Dr. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1965
—————– Fakta Keagungan Syari’at Islam, Tinta Mas Jakarta, 1982
Al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fathu al-Qodir, Mushthafa al-Babi al-Halabi, Cairo, Mesir, 1349 H.
Al-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdillah, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Isa al-Babi al-Halabi, Cairo, Mesir 1972
Al-Zarqoni, Muhammad Abdu al-Aziz, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Isa al-Babi al-Halabi, Cairo Mesir.
Al-Zamakhsyari, Abi al-Qasim Jada Allah Muhammad bin Umar, al-Kasysyaf, Mushthofa al-Babi al-Halabi, Cairo, Mesir.
Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta, Rajawali, 2004), hlm. 40.
Departemen Agama R.I., A1-Qur’an dan Terjemahnya, CV Naladana, Jakarta, 2004.
Faudah, Mahmud Basuni, Dr. Al-Tafsir wamanahijuhu (terj.) Muchtar Zurni, Pustaka, Bandung. 1987
Matondang, A. Yakub, M.A., Tafsir ayat-ayat Kalam menurut al-Qodli Abdul Jabbar, Bulan Bintang, Jakarta. 1989
Mahmud, Muni’ abd al-Hälim, Dr., Manahij al-mufassirin, Daar al-Kitab al-Mishri, Cairo, 1978
Nasikun Drs., Sejarah Dan Perkembangan Tafsir, ( Kumpulan dan Pembahasan atas pendapat para Ulama dalam bidang sejarah dan perkembangan tafir, CV. Bina Usaha, Jogjakarta, 1982
Shaleh, Shubhi, Dr. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Daar al-‘ilmi Li al-Malayin, Beirut, Lubnan. 1977
Syihab, Quraisy, M. Prof. Dr., Wawasan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1996
—————- Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1997
Wahbah al-Zuhaeli, Uşûl al-Fiqh al-Islãmi, Beirut, Dãr al-Fikr li al-Thibã’ah wa al-Tauzi’ wa al-Nasyr,1986



